1. Kepemimpinan
1.1 Teori Kepemimpinan.
Banyak peneliti yang melakukan penelitian dan studi tentang kepemimpinan dan hasilnya berupa bermacam-macam teori tentang kepemimpinan. Teori-teori demikian mencakup perbedaan dalam pendapat, metodologi, keterangan-keterangan dan kesimpulan. Setiap teori mempunyai pengikut masing-masing yang beranggapan bahwa teori mereka adalah benar dan tepat. Paktek serta gaya kepemimpinan terdiri dari suatu jalinan faktor-faktor yang bersifat kompleks. Kepribadian pemimpin, skill, pengalaman, kecakapan, kesadaran harkat dirinya, jenis pengikut, interaksi dan iklim organisasi mempengaruhi kelakuan seorang pemimpin dan apa yang dilakukan olehnya atau tidak dilakukannya.
Teori kepemimpinan pada umumnya berusaha menerangkan faktor-faktor yang memungkinkan munculnya sifat kepemimpinan. Menurut Thoha (1993:33-50) menjelaskan ada enam teori kepemimpinan yaitu:
1. Teori sifat adalah analisa kepemimpinan yang dimulai dengan memusatkan perhatian pada pemimpin itu sendiri.
2. Teori kelompok adalah pertukaran yang positif diantara pimpinan dan pengikutnya
3. Teori situasional adalah mengukur gaya kepemimpinan terhadap teknik dengan memberikan sekor yang dapat menunjukkan dugaan kesamaan diantara keberlawanan teman kerja.
4. Teori kontijensi adalah hubungan gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan.
5. Teori jalan kecil-tujuan adalah pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kedisiplinan, kepuasan dan pelaksanaan pekerjaan bawahan.
6. Teori kepemimpinan melalui sosial learning adalah memberikan pendekatan yang terletak pada perilaku pimpinan, kelangsungan pada timbal balik diantara semua variabel yang ada.
Yukl (1994 dalam Tjahjono, 2003) menyimpulkan secara garis besar bahwa kepemimpinan menyangkut proses pengaruh sosial (pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi. kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama.
Terry (2000) menyebutkan ada 8 (delapan) teori kepemimpinan yang mana sebagai berikut adalah:
1. Teori Otokrasi. Kepemimpinan menurut teori ini didasarkan atas perintah-perintah, pemaksaan dan tindakan yang agak arbitner (kaku) dalam hubungan antara pemimpin dengan pihak bawahan.
2. Teori Psikologis. Pendekatan ini terhadap kepemimpinan menyatakan bahwa fungsi seorang pemimpin adalah mengembangkan sistem motivasi terbaik.
3. Teori Sosiologis. Teori lain mengangap bahwa kepemimpinan terdiri dari usaha-usaha yang melancarkan aktivitas para pemimpin dan yang berusaha untuk menyelesaikan setiap konflik organisasi antara para pengikut.
4. Teori Suportif. Di sini, pihak pemimpin beranggapan bahwa para pengikutnya ingin berusaha sebaik-baiknya dan bahwa ia dapat memimpin dengan sebaiknya melalui tindakan membantu usaha-usaha mereka.
5. Teori Laisser Faire. Berdasarkan teori ini pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pengikutnya dalam hal menentukan aktivitas mereka. Ia tidak berpartisipasi, atau apabila hal itu dilakukannya, maka partisipasi tersebut hampir tidak berarti.
6. Teori Perilaku Pribadi. Kepemimpinan dapat pula dipelajari berdasarkan kualitas-kualitas pribadi ataupun pola-pola kelakuan para pemimpin. Pendekatan ini melakukan apa yang dilakukan oleh pemimpin dalam hal memimpin.
7. Teori Sifat. Di antara sifat-sifat yang dianggap harus dimiliki oleh seorang pemimpin dapat disebutkan dalam teori sifat adalah sebagai berikut:
a. Intelegensi. Orang umumnya beranggapan bahwa untuk mengidentifikasi seorang individu memberi petunjuk tentang kemungkinan-kemungkunan baginya untuk berhasil segai seorang pemimpin (hingga suatu tingkat intelegensi tertentu). Di atas tingkat tersebut yang bersifat relative tinggi, sukses tidak pasti.
b. Inisiatif. Hal ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
Ø Kemampuan untuk bertindak sendiri dan mengatur tindakan-tindakan.
Ø Kemampuan untuk “melihat” arah tindakan yang tidak “terlihat” oleh pihak lain. Sifat ini sangat diinginkan oleh setiap calon manajer.
c. Energi atau Rangsangan. Banyak orang berpendapat bahwa salah satu di antara cirri pemimpin yang menonjol adalah bahwa ia lebih energik dalam usaha mencapai tujuan dibandingkan dengan seorang bukan pemimpin, enrgi mental dan fisik sangat diperlukan.
d. Kedewasaan Emosional. Di dalam sifat tersebut dapat diandalkan persistensi dan objektivitas. Seorang pemimpin dapat diandalkan janji-janjinya mengenai apa yang akan dilaksanakannya. Ia bersedia bekerja lama dan menyebarluaskan sikap “enthusiasme” di antara para pengikutnya. Ia mengetahui apa yang ingin dicapai hari ini, dan tahun depan atau lima tahun yang akan datang.
e. Persuasif. Tidak terdapat adanya kepemimpinan tanpa persetujuan pihak yang akan dipimpin. Untuk persetujuan tersebut, seorang pemimpin biasanya harus menggunakan persuasi.
f. Skill Komunikarif. Seorang pemimpin pandai berbicara dan dapat menulis dengan jelas serta tegas. Ia memiliki kemampuan untuk mengemukakan secara singkat pendapat-pendapat orang lain dan mengambil inti-sari dari pernyataan dari pihak lain.
g. Kepercayaan Pada Diri Sendiri. Adalah Hal tersebut dapat dinyatakan sebagai kepercayaan dalam skill kepemimpinannya.
h. Perseptif. Sifat ini berhubungan dengan kemampuan untuk mendalami ciri-ciri dan kelakuan orang lain, dan terutama pihak bawahannya.
i. Kreativitas. Kapasitas untuk bersifat orisinal, untuk memikirkan cara-cara baru, merintis jalan baru, guna memecahkan sebuah problem. Merupakan sifat yang didambakan pada seorang pemimpin.
j. Partisipasi Sosial. Seorang pemimpin “mengerti” manusia dan ia mengetahui pula kekuatan serta kelemahan mereka.
8. Teori Situasi. Pendekatan ini untuk menerangkan kepemimpinan menyatakan bahwa harus terdapat cukup banyak fleksibilitas dalam kepemimpinan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai macam situasi. Kepemimpinan bersifat “MULTIDIMENSI”. pada teori ini, dianggap bahwa kepemimpinan terdiri dari tiga macam elemen yakni: PEMIMPIN-PENGIKUT-SITUASI. Situasi dinggap sebagai elemen yang terpenting karena ia memiliki paling banyak variable (Winardi. 200:68)
Fielder berpendapat bahwa kita dapat menggunakan tiga dimensi untuk mengukut efektivitas pemimpin yang mencakup:
a) Tingkat kepercayaan para pengikut terhadap pemimpin
b) tingkat hungga di mana pekerjaan para pengikut hanya bersifat rtin atau terstrukturisasi kurang baik
c) Tingkat kekuasaan yang inheren dengan posisi kepemimpinan.
1.2 Determinan-Determinan Kepemimpinan.
Menurut Zainuddin (2001) terdapat tiga hal dalam kepemimpinan, yaitu:
1. Orang-orang.
2. Bekerja dari sebuah posisi organisasi.
3. Timbul dalam sebuah situasi yang spesifik.
Kepemimpinan timbul, apabila ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa apabila bahaya mengancam suatu kelompok dan kelompok tersebut berubah menjadi massa yang mulai bertindak sendiri (mob) maka kelakuannya sulit diramalkan karena bersifat terpencar. Situasi ada, orang-orang ada, tetapi disana tidak terdapat adanya kepemimpinan, karena posisi organisatoris tidak ada. Agar kepemimpinan dapat berjalan dengan baik terdapat adanya interaksi dinamis dan ketiga macam faktor yakni:
a. Faktor orang. Konsep kepemimpinan kerapkali memusatkan perhatian pada personalitas sang pemimpin atau ciri-ciri pribadinya. Menurut pengalaman, ternyata bahwa manusia memiliki sifat-sifat pribadi yang membantu atau menghalangi tugas mereka sebagai pemimpin. Pada hasil penelitian tentang pemimpin dan non pemimpin memberikan petunjuk bahwa para pemimpin:
1. Cenderung lebih mencapai kesesuaian secara spikologis.
2. Cenderung memperhatikan penilain lebih baik.
3. Cenderung menunjukkan interaksi lebih banyak dengan para non pemimpin.
4. Cenderung memberikan banyak keterangan-keterangan yang menyebabkan terjadinya suatu pelebaran persoalan.
Menurut Henry (2000:50) bahwa seorang pemimpin yang mencapai kesuksesan dalam dunia usaha dan organisasi adalah pemimpin yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut adalah:
a. Motivasi untuk kerja kuat.
b. Keinginan untuk berprestasi.
c. Perasaan “hangat” dengan para atasan (atau dengan siapa saja mereka yang berinteraksi).
d. Sifat obyektif terhadap para bawahan.
e. Konsep tentang diri sendiri yang stabil dan yang digariskan secara baik dan jelas
f. Kemampuan untuk melihat peluang, hubungan-hubungan dan membuat keputusan.
g. Aktivitas yang tertata dan sikap yang agresif.
h. Minat terhadap realitas sosial (praktis).
i. Hubungan yang lancer dengan pihak atasan atau relasi kerja.
j. Faktor posisi. Faktor “posisi” menguraikan “arti” organisasi (manusia) dan person kepada sebuah fungsi, tugas, atau pekerjaan. Terdapat sedikitnya tiga macam sumber “harapan tentang peranan” yaitu:
a) Harapan-harapan pribadi. Adalah merupakan ciri-ciri orang mengarapkan seorang pemimpin yang berkelakuan.
b) Harapan-harapan organisatoris. banyak organisasi memiliki harapan-harapan tertentu yang bersifar sepsifik tentang kelakuan para pemimpin merekan.
c) Harapan-harapan kultural. Di samping adanya harapan yang telah dikemukan di atas terdapat pula harapan-harapan kultural yang dapat mencapai macam-macam bentuk, yang salah satunya adalah apa yang dinamakan “kultral industri”.
d) Faktor tempat atau situasi. Situasi-situasi yang berbeda memerlukan peranan kepamimpinan yang berbeda, dan ciri-ciri pribadi yang berbeda pula.
Dari uraian yang telah dikemukakan maka dapat diambil kesimpulan bahwa agar supaya kepemimpinan menjadi penting, maka orang yang melaksanakan tindakan kepemimpinan harus mengahadapi kebutuhan-kebutuhan kelompok maupun kebutuhan yang timbul karena situasi.
1.3 Definisi Pemimpin Dan Kepemimpinan.
Menurut Fadli (2002:13) pemimpin artinya bimbing, tuntun. Memimpin artinya membimbing, menuntun dan menunjukkan. Pemimpin atau leader adalah orang yang memimpin atau seseorang yang menggunakan wewenang dan mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Juga mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan, yaitu kata benda dari pemimpin itu sendiri.
Menurut pendapat Fadli (2002) kepemimpinan mempunyai beberapa pengertian, di antaranya:
1. Cara seorang pemimpin mempengaruhi bawahannya agar mau bekerjasama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, kemampuan untuk membimbing orang-orang yang ada di sekitarnya atau di sekelilingnya.
3. Seni untuk mengkoordinasikan dan memberi motivasi kepada individu dan kelompok guna mencapai tujuan yang ditetapkan.
Sukses dan tidaknya seorang pemimpim melaksanakan tugas kepemimpinannya, tidak terutama ditentukan oleh tingkat keterampilan tehnis (technical skills) yang dimilikinya, akan tetapi lebih banyak ditentukan keahlian dalam menggerakkan orang lain untuk bekerja dengan baik (manajerial skills). Dalam hubungan ini perlu ditekankan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang tidak melaksanakan sendiri tindakan-tindakan yang bersifat operasional, tetapi mengambil keputusan, menentukan kebijaksanaan dan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan keputusan yang telah diambil sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan.
Terry (2000) dalam bukunya “Principles of Manajemen” mengemukakan definisi tentang kepemimpinan yang dapat disimpulkan menjadi dua yaitu:
1) Aktivitas pemimpin pada hakekatnya meliputi suatu hubungan.
2) Adanya satu orang yang mempengaruhi orang-orang lain agar mereka mau bekerja sama ke arah pencapaian sasaran tertentu
Hubungan seorang pemimpin dan mereka yang dipimpin bukanlah hubungan searah tetapi senantiasa harus terdapat adanya antar hubungan (interaction). Bahwa seorang pemimpin harus dapat mempengaruhi kelompoknya, jelasa apabila ia tidak mampu melakukannya maka ia tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin dengan baik. Ada dua jenis “interaksi” yaitu:
1. Interaksi antara pemimpin dan kelompok yang bersangkutan.
2. Interaksi antara para individual kelompok yang bersangkutan.
Setelah mengetahui perbedaan antara pemimpin dan kepemimpinan yang telah dipaparkan, perlu pula diketahui perbedaan antara pengertian pemimpin (leader) dan kepala (head). Pengertian “kepala” menunjukkan segi formalnya saja. Artinya seseorang dapat menjadi kepala kalau mempunyai dasar yuridis, yaitu ada surat keputusan, surat pengangkatan. Inilah yang dimaksud dengan dasar yuridis formal. kendati demikian ia tidak dapat mempengaruhi, menggerakkan, membimbing bawahannya, karena ada dasar yuridis formal maka ia bisa disebut dengan “kepala”. Jadi seorang kepala belum tentu dapat memimpin. Lain halnya dengan seorang pemimpin. Pemimpin harus dapat menggerakkan, membimbing, memberi contoh, serta harus mampu mempengaruhi orang lain yang ada disekelilingnya (Fadli. 2002:16)
Akan tetapi dalam prakteknya ada orang yang mempunyai bakat pemimpin tetapi tidak mempunyai status sebagai kepala, sehingga tidak dapat melaksanakan kepemimpinannya. Demikian pula sebaliknya. Lebih ideal adalah seorang yang berkemampuan memimpin dan dilengkapi dengan status sebagai kepala.
1.4 Pemimpin Formal Dan Informal.
Menurut pendapat Fadli (2002:22) dalam kepemimpinan diketahui jenis kepemimpinan ada dua macam, pemimpin formal (formal leader) dan pemimpin informal (informal leader). Adapun pengertian dari kedua jenis kepemimpinan tersebut adalah:
1. Pemimpin formal adalah Orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan, diatur dalam organisasi secara hierarki dan tergambar dalam suatu bagan struktur yang tergantung dalam tiap-tiap kantor. Pemimpin ini sering disebut dengan sebutan “kepala”.
2. Pemimpin informal adalah Seorang yang latar belakang pribadi yang kuat mewarnai dirinya, memiliki kualitas obyektif atau subyektif yang kemungkinannya tampil dalam kedudukan di luar struktur organisasi resmi namun ia dapat mempengaruhi kelakuan dan tindakan suatu kelompok masyarakat, baik dalam arti positif maupun negatif. Di dalam Islam pemimpin informal ini adalah ulama, dan atau tokoh masyarakat.
Informal leader adalah seorang (atau sekelompok orang yang karena latar belakang pribadi yang sangat kuat mewarnai dirinya (diri mereka), memiliki kualitas subyektif ataupun objektif yang kemungkinannya tampil dalam kedudukan diluar struktur organisasi resmi namun ia dapat mempengaruhi kelakuan dan tindakan sesuatu kelompok masyarakat baik dalam arti positif maupun negatif. Eksistensi pemimpin informal turut membantu atau memainkan peranan dalam proses perkembangan sosial dan turut membantu membentuk sejarah. Tidak dapat dipungkiri juga, jika pemimpin formal acapkali membutuhkan bantuan dari pemimpin informal dalam menjalankan roda organisasinya.
Winardi (2000) menyatakan perbedaan pemimpin formal dan pemimpin informal adalah sebagai berikut adalah:
1. Pemimpin Formal.
a) Memiliki legalitas formal sebagai pemimpin (penunjukan oleh pihak yang berwewenang untuk melakukannya).
b) Organisasi formal yang mengangkat mereka sebagai pemimpin formal.
c) Bersetatus sebagai pemimpin formal selama masa jabatan atau pengangkatan yang berlaku.
d) memperoleh balas jasa materiil dan emolument yang lainnya yang berkaitan dengan posisi atau jabatan mereka.
e) Dapat mencapai promosi (kenaikan pangkat formasi).
f) Dapat dimutasikan organisasi formal.
g) Selalu memiliki atasan.
h) Biasanya harus memenuhi kriteria atau syarat-syarat formal terlebih dahulu sebelum memperoleh pengangkatan.
i) Apabila melakukan kesalahan, maka akan mendapat sanksi dari organisasi formal.
j) Selama masa pengangkatannya berlaku harus terus menerus menjalankan kepemimpinannya.
2. Pemimpin Informal.
a) Tidak memiliki penunjukan secara formal sebagai pemimpin.
b) Masyarakat (atau kelompok tertentu di dalam masyarakat) yang mengangkat mereka.
c) Diakui oleh masyarakat yang dipimpin (tanpa pengakuan demikian, mereka tidak akan menjadi pemimpin informal).
d) Biasanya tidak memperoleh balas jasa materi (akan tetapi mereka mendapatkan balas jasa jika mereka mengusahakannya).
e) Tidak pernah mencapai promosi, akan tetapi affirmasi, konfirmasi atau subordinasi masyarakat yang secara sukarela mau mengakui mereka sebagai pemimpin informal.
f) Tidak dapat dimutasikan.
g) Apabila perlu melakukan kesalahan maka akan mendapatkan sanksi berupa kurang ditaatinya lagi sebagai pemimpin informal atau tidak diakui lagi sebagai pemimpin.
Untuk mengetahui alur dari pemikiran antara pemimpin formal dan pemimpin informal maka dapat digambarkan sebagai berikut dipaparkan oleh winardi (2000:32) telihat bahwa sejumlah bidang perubahan yang dihadapi oleh pemimpin formal (hal mana juga berlaku bagi pemimpin informal) adalah:
1) Perubahan-perubahan dalam pengetahuan, informasi serta teknik-teknik.
2) Perubahan dalam skop kepemimpinan.
3) Perubahan dalam lingkungan.
4) Perubahan dalam tingkat perubahan.
1.5 Sifat-Sifat Pemimpin Yang Baik.
Jika demikian halnya, maka setiap orang yang disebut pemimpin harus selalu berusaha untuk memiliki sebanyak mungkin sifat-sifat kepemimpinan yang baik, karena seorang pemimpin tidak seharusnya dan memang tidak pernah beroperasi dalam suasana vakum. Artinya kepemimpinan di dalam suatu organisasi hanya efektif jika kepemimpinan yang diterima oleh orang lain yang disebut bawahan.
Suwarno (2002) berpendapat bahwa sifat yang dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang baik adalah:
1. Memiliki kondisi fisik yang sesuai dengan tugasnya.
2. Berpengetahuan luas.
3. Mempunyai keyakinan bahwa organisasi akan berhasil dalam mencapai tujuan
4. Memiliki stamina (daya kerja) dan etos kerja yang tuntas.
5. Gemar dan cepat mengambil keputusan.
6. Obyektif.
7. Adil dalam memperlakukan bawahan.
8. Menguasai prinsip-prinsip human relation. Yang dimaksud human relation adalah keseluruhan rangkaian, baik yang bersifat formal, antara atasan dengan bawahan, atasan dengan atasan serta bawahan dengan bawahan yang lain harus dibina dan dipelihara sedemikian rupa sehingga tercipta suatu kerja tim dan suasana kerja yang intim dan harmonis dalam rangka pencapaian suatu tujuan.
9. Menguasai teknik-teknik berkomunikasi.
10. Dapat dan mampu bertindak sebagai penasehat, guru dan kepala terhadap bawahannya
11. Bersikap kritis dan ingin tahu banyak.
12. Kecepatan dan ketepatan.
13. Disiplin yang tinggi.
14. Menguasai aspek internal dan eksternal.
1.6 Timbulnya Pemimpin Yang Baik.
Mengenai timbulnya seorang pemimpin yang telah dikemukakan beberapa ahli teori kepemimpinan sehingga telah melahirkan teori yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Namun demikian Zainuddin (2001) berpendapat apabila berbagai macam teori yang berbeda tersebut dianalisa akan terlihat adanya tiga teori yang menonjol, antara lain adalah:
1) Teori Genetis. Teori ini berpendapat bahwa pemimpin itu dilahirkan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seorang ditempatkan, karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin.
2) Teori Sosial. Teori ini menganut paham egalitarianistik, oleh karenanya para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
3) Teori Ekologis. Pada intinya bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin jika memenuhi dan memiliki teori genetis dan sosial.
1.7 Gaya Kepemimpinan.
Meskipun belum terdapat kesepakatan yang bulat tentang gaya kepemimpinan. ada enam gaya kepemimpinan yang diakui keberadaannya secara luas (Fadli. 2002:18).
Enam gaya kepemimpinan tersebut adalah:
1. Gaya kepemimpinan otokrasi.
Seorang pemimpin yang otokrasi adalah seorang pemimpin yang mempunyai ciri-ciri adalah:
a) Menganggap organisasi sebagai milik pribadi.
b) Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
c) Mengganggap bawahan sebagai alat organisasi.
d) Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat.
e) Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya.
f) Dalam tindakan penggerakannya sering mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan punitive (bersifat menghukum).
2. Gaya kepemimpinan militeristis.
Seorang pemimpin yang bertipe militeristis adalah seorang pemimpin yang mempunyai sifat:
a) Sering menggunakan sistem perintah dalam menggerakkan bawahannya.
b) Senang tergantung pada pangkat atau kekuasaan formalnya dalam menggerakkan bawahannya.
c) Senang pada formalitas yang berlebihan.
d) Menuntut kedisiplinan yang tinggi dan kaku dari bawahannya.
e) Sukar menerima kritikan dari bawahannya.
f) Menggemari upacara-upacara untuk berbagai acara dan keadaan.
3. Gaya kepemimpinan paternalistis.
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis adalah seorang yang:
a) Mengganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa.
b) Bersikap terlalu melindungi.
c) Jarang memberikan kesempatan kepada karyawan atau bawahannya untuk mengambil keputusan dan inisiatif.
d) Jarang memberikan kesempatan kepada karyawan atau bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya.
e) Sering bersikap maha tahu.
4. Gaya kepemimpinan kharismatis.
Hingga sampai saat ini para pakar belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seorang pemimpin memiliki charisma, yang diketahui adalah bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Karena kurang pengetahuan tentang sebab musabab seorang menjadi pemimpin yang kharismatik, maka sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural power).
5. Gaya kepemimpinan laissez faire.
Seorang pemimpin yang bertipe laissez faire adalah seorang yang bersifat:
a) Dalam memimpin organisasi biasanya mempunyai sikap yang pesimis, dalam arti bahwa para anggota organisasi boleh saja bertindak sesuai dengan keyakinan dan bisikan hati nuraninya asal saja kepentingan bersama tetap terjaga dan tujuan organisasi tetap tercapai.
b) Bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisas, sasaran-sasaran apa yang dicapai dan tugas apa yang harus dilaksankan oleh masing-masing anggota.
c) Seorang pemimpin yang tidak terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.
d) Seorang pemimpin yang cenderung memilih peran pasif dan membiarkan organisasinya berjalan dengan sendirinya tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi tersebut berjalan.
Pemimpin yang bertipe seperti ini sering dianggap seorang pemimpin yang kurang memiliki rasa tanggungjawab yang wajar terhadap organisasi yang dipimpinnya.
6. Gaya kepemimpinan demokratis.
Untuk tipe pemimpin demokratis adalah pemimpin yang bersifat:
a) Dalam proses menggerakkan bawahannya selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia adalah makluk yang termulia di dunia.
b) Selalu berusaha mensinkronkan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari para bawahannya.
c) Senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritikan dari bawahannya.
d) Selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan kerja tim dalam usaha mencapai tujuan.
e) Selalu berusaha menjadikan bawahannya lebih sukses daripada dirinya.
f) Berusaha mengembangkan kapasitan diri pribadinya sebagai pemimpin.
g) Para bawahannya dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.
Kepemimpinan ini adalah kepemimpinan yang menerapkan empat gaya kepemimpinan berdasarkan ukuran atau persepsi tentang kemauan dan kemampuan orang yang dipimpin. Empat gaya tersebut adalah:
a. Intruksi, untuk bawahan yang tingkat kemampuan, kemauan, keyakinan dan pengetahuan rendah atau tidak sama sekali.
b. Konsultasi, untuk bawahan yang kemampuan rendah akan tetapi kemauannya tinggi. Cara ini dengan mengarahkan, mendukung dan melakukan komunikasi dua arah.
c. Partisipasi, untuk bawahan yang kemampuan, pendidikan, pengetahuan dan pengalamannya tinggi akan tetapi motivasi dan keyakinannya rendah. Model ini adalah penerapan gaya kepemimpinan dengan mendukung dan saling tukar ide tanpa mengarahkan.
d. Delegasi, untuk bawahan yang tingkat kematangannya tinggi, kemauan dan kemampuan dapat diandalkan. Model ini tidak berarti pemimipin tidak bertanggungjawab, tetapi mengajarkan kepada bawahannya bagaimaca caranya bertanggungjawab.
2. Budaya Organisasi.
Pemaknaan budaya organisasi demikian luas dalam berbagai setting sehingga istilah budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi trend baik di berbagai golongan. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasi mendapat “tempat” penting dalam khasanah akademis (Hofstede. 1990).
Dalam terminologi akademis, budaya organisasi merupakan suatu konstruk, yang abstaraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak dimensi. Sehingga banyak ahli ilmu sosial dan manajemen belum menemukan “kebersamaan opini” mengenai definisi budaya organisasi.
2.1 Pengertian Budaya Organisasi.
Beberapa rumusan tentang budaya organisasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Antara lain adalah Suhardono (1999:4) menyatakan bahwa antara individu dan organisasi terdapat suatu analogi, dimana individu merupakan ciptaan biologi dan organisasi merupakan ciptaan social, individu memiliki penghargaan hidup yang tidak terbatas dan siklus hidup yang berbasisi biologis, sedang organisasi tidak.
Robbin (1994:479) memberikan rumusan tentang pengertian budaya organisai adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, yang dapat menggambarkan tentang cara-cara melakukan suatu pekerjaan di tempat tertentu serta asumsi kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi. Atau dengan kata lain budaya organisasi adalah suatu system pengertian yang diterima bersama, yang mengaplikasikan adanya dimensi dan karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat dan interdependen.
Maschi dan Roger (1995) mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota kelompok dalam suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap dan prilaku kelompok tersebut.
Kast dan Rosenzweig (1990:953) mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah perangkat nilai, kepercayaan dan pemahaman yang sama-sama dimiliki oleh para anggotanya.
Menurut Schien (1994:73)
Budaya adalah suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang dapat ditemukan, yang akan terlihat atau dikembangkan oleh suatu kelompok sebagai suatu pelajaran untuk mengatasi masalah-masalah dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan integritas internal, yang dikerjakan dengan cukup baik dengan pertimbangan yang valid serta kemudian dijadikan pegangan atau pelajaran bagi anggota-anggota baru untuk mengadakan pengamatan, berfikir dan merasakan dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut.
Selanjutnya berkaitan dengan “budaya organisasi” Schein yang dikutip oleh Chandra (1996:74) mengungkapkan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa maksud, yaitu:
a. Satu keteraturan perilaku yang tampak. Yaitu suatu keteraturan perilaku yang biasanya terjadi pada saat orang mengadakan interaksi, misalnya bahas-bahasa yang digunakan, dan kebiasaan yang dilakukan.
b. Norma-norma. Yaitu norma-norma yang berlaku dalam kelompok kerja atau organisasi.
c. Nilai-nilai dominan yang dianut. Yaitu suatu nilai-nilai dominan yang dianut oleh organisasi.
d. Falsafah. Yaitu falsafah yang ditetapkan dan dianut atau dilaksanakan oleh organisasi yang bias mengarahkan kepada kebijakan-kebijakan organisasi dalam mencapai tujuannya.
e. Aturan-aturan. Yaitu aturan-aturan main yang ada dalam organisasi dalam mengahadapi hal-hal tertentu.
f. Perasaan atau iklim. Yaitu iklim atau keadaan (suasana) dalam organisasi yang terasa dan dapat terlihat dari lay out fisik maupun cara-cara atau suasana anggota organisasai dalam berinteraksi dengan pelanggan atau orang luar.
Budaya organisasi menurut Stahl dan Andersen (1996), merupakan satu set proses yang saling terkait di mana aktifitas-aktifitas dilaksanakan dalam suatu organisasi. Budaya organisasi juga dapat dianggap sebagai suatu mosaic dari elemen-elemen organisasi yang terkat. Interaksi komponen budaya tersebut akan menciptakan deskripsi tentang values dari masing-masing anggota organisasi, suatu pengertian yang lebih mendalam dan bernuansa psikologis dari deskripsi iklim organisasi.
Deskripsi budaya organisasi yang dikemukan Stahl dan Andersen (1996), yang meliputi empat komponen yaitu:
1. Informasi dan prilaku. Teknologi informasi yang digunakan dalam suatu organisasi memeberikan konsekuensi makin tingginya keterampilan dan kapabilitas dari karyawan.
2. Hirarki dan prilaku. Ketika suatu organisasi mengubah struktur organisasi menjadi lebih datar, maka akan semakin banyak pendelegasian, lebih banyak choaching, serta penekanan pada aspek kemandirian diantara organisasi.
3. Hirarki dan kepemimpinan. Pendeleganisan wewenang dan aktifnya fungsi coaching akan menggeser pola kepemimpinan organisasi yang ada. Penghargaan, audit, hukuman dan penghargaan dari atasan semakin menipis perannya
4. Kepemimpinan dan tim. Ketika fungsi birokratis dalam organisasi semakin luntur, kepemimpinan akan lebih mengarah berbagai fungsi.
2.2 Pentingnya Budaya Organisasi.
Budaya yang ada di dalam sebuah organisasi bisa kuat dan juga bisa lemah. Budaya organisasi dikatakan kuat, apabila nilai-nilai, sikap dan kepercayaan bersama tersebut dipahami serta dianut dengan teguh dan dengan komitmen yang tinggi, sehingga rasa kebersamaan dapat tercipta. Sebaliknya budaya organisasi yang lemah tercermin kurangnya komitmen anggota atau karyawan terhadap nilai-nilai, kepercayaan dan sikap bersama yang biasa dilakukan atau disepakati.
Adanya budaya organisasi yang kuat menurut Stahl dan Andersen (1996), sangat bermanfaat bagi organisasi, yaitu dalam hal:
a. Memudahkan koordinasi aktivitas-aktivitas dalam organisasi.
b. Memudahkan atau menghemat komunikasi antar individu atau anggota yang ada karena adanya sikap dan kebersamaan dalam menganut nilai-nilai yang ada.
c. Terciptanya keharmonisan hubungan dan kerjasama antar anggota atau karyawan, sehingga kedisiplinan kerja akan meningkat.
d. Kelancaran aktivitas organisasi dan meningkatnya prestasi atau efektivitas kerja organisasi.
e. Pengambilan setiap keputusan dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.
Berkenaan dengan masalah pentingnya budaya organisasi, Kast dan Rosenzweig (1990:96) mengemukakan bahwa kebudayaan yang kuat merupakan perangkat yang kuat pula untuk menuntun perilaku, ia membantu paara pegawai atau karyawan lmengerjakan pekerjaan mereka dengan sedikit lebih baik, terutama dalam dua hal:
a) Kebudayaan yang kuat adalah system aturan-aturan informal yang mengungkapkan bagaimana orang berperilaku dalam sebagian besar waktu mereka.
b) Kebudayaan yang kuat memungkinkan orang merasa lebih baik tentang apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka memungkinkan kerja lebih keras atau lebih baik.
Pentingnya budaya organisasi ini terlihat jelas apabila organisasi mengalami perubahan yang mendasar dalam hal sasaran (tujuan), strategi, dan cara atau metode-metode dalam melaksanakan aktivitasnya.
2.3 Fungsi Budaya Organisasi.
Pentingnya budaya organisasi akan terlihat apabila organisasi mengalami perubahan secara mendasar dalam hal sasaran, strategi, dan cara atau metode dalam pelaksanaannya maka sesungguhnya sudah tersirat gambaran tentang fungsi budaya organisasi (Kast dan Rosenzweig dalam Chandra. 1990:98).
Namun untuk lebih jelasnya berikut akan lebih lanjut dijelaskan tentang fungsi budaya organisasi, yaitu:
a) Masalah-masalah eksternal dan menjaga kelangsungan atau keberlanjutan hidup organisasi. Dengan adanya budaya organisasi yang dianut maka organisasi mampu untuk mengatasi berbagai macam masalah eksternalnya agar tetat survive, oleh karena itu suatu organisasi harus mempunyai: misi dan strategi, tujuan (goals), cara-cara untuk mencapai tujuan (means) dan mengembangkan system control sebagai ukuran tingkat keberhasilan organisasi.
b) Masalah integrasi internal. Yaitu untuk mengatasi masalah integrasi internal yang menyangkut tentang : konsep umum dan bahasa yang digunakan dalam organisasi, criteria yang digunakan untuk membatasi antara kelompok dan bukan kelompok dalam organisasi, adanya status dan kekuatan dalam organisasi, adanya ganjaran dan hukuman, ideology dan agama yang dianut oleh individu atau kelompok.
2.4 Karakteristik Budaya Organisasi.
Walaupun budaya didalam suatu organisasi dianggap sebagai suatu yang abstrak, namun budaya organisasi mempunyai karakteristik tertentu yang dapat didefinisikan dan diukur. Menurut Robbins (1996:298), karakteristik budaya organisasi terdiri dari:
a) Inovasi dan pengambilan resiko. Adalah sejauhmana para anggota atau karyawan didorong untuk inovasi dan mengambil resiko.
b) Perhatian kerincian. Adalah sejauhmana anggota atau karyawan diharapkan memperhatikan presisi (kecermatan), analisis dan perhatian atas rincian terhadap kerja atau aktivitas organisasi.
c) Orientasi hasil. Adalah Sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil dan bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.
d) Orientasi orang. Adalah sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil pada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
e) Orientasi tim (team). Adalah sejauhmana kegiatan diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu.
f) Keagresifan. Adalah sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif.
g) Kemantapan. Adalah sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
2.5 Ciri-Ciri Budaya Organisasi Yang Baik.
Keberadaan budaya organisasi yang dianut di dalam suatu organisasi bias memberi manfaat dan atau dapat membantu aktivitas kepemimpinan dalam koordinasi dan integrasi, namun bias juga budaya organisasi yang ada tersebut kurang kuat atau kurang selaras dengan aktivitas pengembangan dan pencapaian tujuan organisasi (tinjauan secara ekonomis), misalnya budaya yang dianut kurang mendukung kreatuvitas dan kedisiplinan karyawan atau anggota. Oleh karena itu ada beberapa ciri atau karakteristik budaya organisasi yang baik dan dapat membawa kesuksesan suatu organisasi.
Samdeep dan Sussman (1991:84) mengklasifikasikan beberapa ciri budaya perusahaan yang unggul yaitu:
a) Keyakinan yang tidak tergoyahkan bahwa manusia adalah sumberdaya perusahaan yang paling penting.
b) Dukungan dari kewirausahaan intern menghargai karyawan yang membantu perusahaan mencapai misinya.
c) Pengendalian yang lebih didasarkan pada loyalitas dan komitmen ketimbang pada aturan dan kepatuhan.
d) Komitmen karyawan terhadap tujuan perusahaan adalah lebih tinggi dari pada komitmen mereka terhadap tujuan kelompok atau pribadi.
e) Komitmen manajemen puncak untuk menumbuhkan kebanggaan di kalangan semua karyawan.
f) Komitmen manajemen puncak untuk mengahasilkan produk atau layanan yang unggul lainnya.
g) Keyakinan akan pentingnya ritual atau upacara dan pahlawana perusahaan.
h) Keyakinan akan perlunya informasi kabar baik maupun kabar buruk.
i) Kesadaran bahwa komunikasi kearah lebih penting dari pada komunikasi ke bawah.
j) Dukungan manajemen puncak atas pelatihan dan pengembangan komitmen untuk selalu lebih pandai dari pada pesaing.
k) Pandangan yang menghargai kebenaran mengambil resiko dan kreativitas.
2.6 Konsep Dasar Terbentuknya Budaya organisasi.
Budaya organisasi dibangun dan dipertahankan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya ini sangat mempengaruhi criteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan atau anggota. Tindakan dari manajeman puncak dewasa ini menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak (Samdeep dan Sussman. 1991: 90)
Bagaimana karyawan atau anggota harus disosialisasikan akan tergantung baik pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai orang dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak yang menggunakan metode sosialisasi. Sehingga dari uraian diatas dapat digambarkan bagaimana terbentuknya budaya dalam suatu organisasi (Samdeep dan Sussman. 1991: 90), yaitu sebagai berikut:
2.7 Hubungan Budaya Organisasi Dengan Keefektifan Organisasi.
Hubungan kepemimpinan mempengaruhi budaya dan keefektifan organisasi sudah banyak ditelaah oleh para ahli organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformsional dianggap paling relevan terhadap pembentukan budaya organisasi. Pada perspektif transformasional dijelaskan banyak bukti struktur organisasi yang konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasi. Hal tersebut meliputi proses pembangunan komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran tersebut.
Trice dan Beyer (1993) mengenalkan konsep kepemimpinan kultural dengan menekankan inovasi kultural yang padanya seorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yang drastis pada budaya yang ada atau memulai sebuah organisasi baru dengan budaya yang berbeda.
Berdasarkan uraian diatas, model kepemimpinan kultural yang digambarkan adalah sebagai berikut:
2.8 Kepemimpinan Sebagai Pemodernisasi Hubungan Budaya Organisasi dan Keefektifan Organisasi
Sejarah telah menunjukkan pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tze-tung dan indira Gandi telah meletakkan dasar dan visi pada suatu komunitas umatnya, yang selanjutnya membentuk budaya yang sedemikian kuat pada mereka yang dipimpin. Fenomena tersebut merupakan ilustrasi perilaku kepemimpinan kultural di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan secara lebih jauh membentuk budaya.
Trice dan Beyer (1993) memformulasikan sebuah model yang membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan budaya. Pemimpin-pemimpin yang mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradiasi , tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.
Secara umum penelitian tentang suksesi kepemimpinan kultural masih sangat terbatas sehingga kajian lebih dalam masih sangat dibutuhkan. Dalam konteks tersebut juga dimungkinkan bahwa, kepemimpinan tidak mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara budaya organisasi dan keefektifan organisasi. Dalam konstruksi di atas memungkinkan bahwa kepemimpinan merupakan variabel pemodernisasi terhadap hubungan budaya organisasi dan keefektifan organisasi.
2.9 Budaya Organisasi dan Implikasi Manajerial.
Dalam khasanah praktikal seringkali pemahaman budaya organisasi menjadi semacam “trend”, namun banyak organisasi bisnis menyadari betapa pentingnya budaya organisasi. Bahkan budaya organisasi saat ini telah menjadi salah satu keunggulan kompetitif strategis dalam persaingan. Budaya organisasi menjadi suatu kekuatan penting yang sangat sukar ditiru oleh pesaing. Paling tidak komitmen pendiri, filosofi, nilai-nilai, waktu dan interaksi di dalam perjalanan organisasi menentukan keunikan dari budaya organisasi yang mereka miliki (Galpin. 1996:29).
Bagaimana tingkat kedalaman nilai-nilai budaya dan praktik-praktik budaya organisasi dalam perusahaan dapat dikelompokkan kedalam dua bagian:
1. Perusahaan-perusahaan dengan budaya kuat (stong culture companies).
Kondisi di atas tampak pada kohesifitas vertikal atasan dan bawahan, juga kohesifitas horizontal antara sesama anggota organisasi. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip didistribusikan secara luas kepada angota organisasi atau perusahaan yang berimplikasi pada praktik-praktik organisasi sehingga nilai-nilai budaya organisasi sangat kuat tertanam dalam kehidupan organisasi. Budaya yang kuat dan kesesuaian ideal dengan strategi perusahaan akan mampu menggerakkan segenap pihak dalam organisasi untuk terlibat dan melaksanakan pekerjaan lebih baik.
2. Perusahaan-perusahaan dengan budaya lemah (weak culture companies).
Dalam suatu organisasi hanya sedikit nilai-nilai organisasi yang tersebar dan hanya sedikit pula tradisi-tradisi kuat yang mereka lakukan dalam organisasi. Seringkali muncul budaya organisasi yang tidak sehat, didominasi perseorangan, gamang terhadap perubahan. Cirri demikian sering dianggap pertanda penurunan kinerja organisasi.
Dalam konteks lain budaya organisasi yang tidak terlalu kuat akan dapat dipandang dalam perspektif yang baik atau positif. Konteks budaya ini dipandang sebagai budaya organisasi yang adaptif terhadap perubahan bisnis dan manajerial.
3 Kedisiplinan
3.1 Pengertian Kedisiplinan.
Keberhasilan suatu perusahaan tergantung pada tingkat kedisiplinan pimpinan organisasi dan para bawahan atau anggota dalam mengesampingkan kepentingan individu atau golongan, mereka perlu adanya kedisiplinan tanggungjawab agar dapat bekerja secara efektif serta efisien sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Berikut pengertian kedisiplinan yang dikemukaan oleh para ahli:
Silalahi (1990:190) menyatakan bahwa: “kedisiplinan adalah kewajiban anggota yang telah menyerahkan jasanya kepada organisasi, menunaikan standart yang telah ditetapkan harus menjadi titik tumpuan disiplin”.
Nitisemito (1991:190) menyatakan bahwa: “kedisiplinan lebih tepat kalau diartikan suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari organisasi baik yang tertulis dan maupun yang tidak tertulis”.
Siswanto (1990:278) menyatakan bahwa: “disiplin adalah sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya”.
Jelasnya disini bahwa kedisiplinan menghendaki ditaatinya sebagian peraturan-peraturan oleh para anggota, dan sasarannya bukan hanya pada hukuman yang bersifat fisik, tetapi pada perubahan tingkah laku.
3.2 Pentingnya kedisiplinan.
Kedisiplinan merupakan suatu proses yang konstruktif (terencana) bagi setiap anggota organisasi, suatu pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran untuk perkembangan selanjutnya. Tindakan-tindakan pelanggaran kedisiplinan pada anggota tidak hanya mempunyai implikasi secara langsung pada mental angota, tetapi dapat berpengaruh terhadap efektifitas organisasi. Oleh karena itu pemimpin harus menyisihkan sebagian waktunya untuk masalah kedisiplinan.
Menurut pendapat Suwandi (1999:30) menyatakan bahwa: “kedisiplinan bawahan harus ditanamkan sebagai rasa tanggungjawab kewajibannya secara sadar tanpa rasa takut terhadap sanksi-sanksi atasannya jika ia benar”.
Dengan kedisiplinan yang ditanamkan pimpinan pada anggota organisasi dapat menimbulkan rasa tanggungjawab terhadap pekerjaannya, karena menyadari kewajibannya dan mengutamakan hasil kinerja dengan baik sesuai dengan standart yang ditetapkan.
3.3 Beberapa Indikator Kedisiplinan.
Ada beberapa indikator dari kedisiplinan kerja yang digunakan untuk mengetahui apakah kedisiplinan anggota dalam suatu organisasi cukup tinggi atau rendah. Adapun indikator tersebut adalah:
1. Absensi dalam suatu kegiatan
Tingkat absensi (alpa) adalah mencerminkan disiplin tidaknya organisasi dalam menjalankan tanggungjawabnya dalam organisasi, dimana tingkat kedisiplinan berpengaruh pada produktivitas kinerja.
2. Labour Turn Over.
Labour turn over adalah sering keluar masuknya anggota dalam suatu organisasi, hal ini dapat merugikan karena organisasi karena organisasi akan mengalami keterputusan kesinambuangan system dan budaya organisasi.
3. Sering Terjadi Dalam Kesalahan Kegiatan.
Penyebab terjadinya kesalahan dalam kegiatan dikarenakan 2 hal yakni diluar kehendak manusia itu sendiri dan manusia itu sendiri sebagai faktor penyebab kesalahan dalam menjalankan kegiatan. Akan tetapi jika penyebabnya adalah sumber daya manusia karena adanya kebosanan dalam organisasi atau mungkin kurang puasnya anggota terhadap organisasi, hal ini mengakibatkan kurangnya kegairahan dalam berorganisasi sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dalam kegiatan (Ranupanjojo dan Husna. 1990:34).
3.4 Cara Meningkatkan Kedisiplinan
Menurut pendapat Nitisemito (1991:201-206), cara meningkatkan kedisiplinan antara lain:
1) Menekankan kesejajaran antara anggota. Oleh karena antara kedisiplinan dan kesejajaran mempunyai hubungan erat, hal ini berarti bagi organisasi yang ingin meningkatkan kedisiplinan perlu mempunyai metode kesejajaran antara anggotanya.
2) memberikan peringatan dan ketegasan serta hukuman ancaman yang diberikan tidaklah untuk menghukum, tetapi lebih bertujuan untuk mendidik mereka supaya bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi.
3) Pemimpin jangan sampai membiarkan suatu pelanggaran yang diketahui tanpa suatu tindakan atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi berlarut-larut tanpa tindakan yang tegas.
4) Dengan jalan memasukkan unsur partisipasi, maka anggota akan merasakan peraturan tentang ancaman hukuman adalah hasil persetujuan bersama.
5) Kedisiplinan yang hendak ditegakkan tersebut haruslah sesuai dengan kemampuan dari para anggota.
6) Keteladanan pimpinan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menegakkan kedisiplinan, sehingga untuk itu keteladanan pimpinan harus diperhatikan.
Apabila dikaji lebih dalam, pendapat ini menekankan pada sikap mentalitas dan kewajiban yang ada dalam diri seorang pemimpin maupun seorang anggota dalam suatu organisasi.
3.5 Tujuan Pembinaan Kedisiplinan.
Pembinaan kedisiplinan kerja perlu dilakukan oleh organisasi. Secara umum tujuan pembinaan kedisiplinan kerja adalah kontinuitas organisasi. Adapun tujuan pembinaan kedisiplinan secara khusus menurut pendapat Siswanto (1990:280) adalah:
1) Agar anggota organisasi menepati segala peraturan dan kebijakan keanggotaan maupun peraturan dan kebijakan organisasi yang berlaku, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, serta melaksanakan perintah manajemen.
2) Dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, serta mampu memberikan servis yang maksimal kepada pihak tertentu yang berkepentingan dengan organisasi sesuai dengan bidang, pengalamanan dan tujuan organisasi yang dibebankan kepadanya.
3) Dapat menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana barang dan jasa organisasi dengan sebaik-baiknya.
4) Dapat bertindak dan berprilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada organisasi.
5) Follow-up dari hal-hal tersebut diatas para anggota mampu memperoleh tingkat produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
3.6 Hukuman Kedisiplinan.
Program kedisiplinan harus sesuai dengan keadaan dan bersifat logis, apabila para organisasi menganggap peraturan itu masuk akal, maka peraturan itu akan dipatuhinya dan dihormatinya karena keyakinannya bahawa ia melakukan sesuatu dengan cara yang benar.
Adapun hukuman kedisiplinan menurut Flippo (1994:26) bahwa diantara hukuman-hukuman yang ada dalam organisasi dapat berupa:
1) Peringatan lisan.
2) Peringatan tertulis.
3) Kehilangan keistimewaan.
4) Denda.
5) Skors disipliner.
6) Diberhentikan atau dipecat.
3.7 Hal-Hal Yang Menunjang Kedisiplinan.
Dalam rangka menunjang kedisiplinan yang ada dalam organisasimaka perlu kita kemukakan beberapa hal yang dapat menunjang kedisiplinan tersebut yang ditunjukkan dalam gambar berikut menurut Nitisumito (1994:207).
Menurut Nitisumito (1994) dalam menjalankan kedisiplinan kerja harus diperhatikan beberapa pedoman, yaitu:
1) Pendisiplinan hendaknya dilakukan secara pribadi tidak seharusnya memberikan teguran kepada bawahan dihadapan orang banyak
2) Pendisiplinan hendaknya bersifat membangun, memberikan teguran juga disertai dengan saran tentang bagaimana seharusnya berbuat untuk tidak mengulangi kesalahannya.
3) Pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan langgung dengan segera, jangan menunda pendisiplinan sampai masalahnya terlupakan.
4) Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan. Suatu kesalahan yang sama hendaknya diberikan hukuman yang sama pula.
Pendisiplinan pada hakekatnya huga merupakan pembatasan dari anggota organisasi, oleh karena itu dalam usaha menegakkan kedisiplinan harus sesuai denga kemampuan para anggota.
Dalam rangka menegakkan kedisiplinan perlu adanya keteladanan pimpinan yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menegakkan kedisiplinan sebab pimpinan adalah panutan dan sorotan dari bawahannya.
3.8 Usaha-Usaha Menegakkan Kedisiplinan.
Sebelum membahas mengenai usaha-usaha dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka perlu dikemukakan beberapa hak-hak anggota agar para anggota dapat membelaksanakan tugasnya dengan baik, hak tersebut menyangkut potensinya.
Selanjutnya Flippo (1994) berpendapat bahwa usaha-usaha dalam menegakkan kedisiplinan anggota dibagi menjadi tiga bagian adalah sebagai berikut:
1) Menetapkan peraturan dan tata tertib kerja.
2) Membentuk hubungan kerja yang harmonis.
3) Memenuhi keinginan dan kebutuhan anggota.
0 komentar:
Posting Komentar